Thursday, July 21, 2016

9 Alasan Kenapa Nasehat Orangtua Tidak Didengar Anak

Seringkali para orangtua yang saya jumpai mengeluhkan anak-anak mereka yang susah sekali diberi nasehat.

“Aduhh, kok susah bener ya menasehati si adek...”

Ucapan-ucapan mereka menandakan seolah-olah mereka telah menyerah dan putus asa karena aturan-aturan yang telah mereka buat dengan mudahnya dilanggar oleh si anak.


Apanya yang salah?

Nasehatnya kah,

orangtuanya kah,

atau memang anak-anak mereka yang tipikal pemberontak?

Pertama,

yang harus diyakini sejak awal adalah bahwa sebenarnya tidak ada anak yang terlahir dengan tabiat buruk. Mereka hanya harus diajari tentang mana baik-mana buruk.

Kedua,

nasehat atau larangan orangtua kemungkinan besar adalah untuk sesuatu yang baik.

Maka dari itu,

karena tidak mungkin kedua poin pertama yang salah, maka tinggal perilaku atau cara orangtua di dalam melarang-lah yang perlu dipertanyakan.

Jika anak-anak kita termasuk anak-anak yang susah diberi nasehat, dilarang atau sulit mengikuti peraturan yang telah kita buat,

segeralah meng-evaluasi diri, jangan-jangan kita telah melakukan ke-9 hal ini:

1. Penggunaan istilah yang absurd


Kita berencana mengajak buah hati kita berkunjung ke rumah saudara. Untuk mengantisipasi hal-hal yang tidak diinginkan, sebelum berangkat kita berpesan kepadanya,

“Nak, nanti di sana tidak boleh nakal, ya!”

atau, “Ingat ya, di rumah saudara jangan bikin malu ayah dan ibu...”

Atau ketika kita akan pergi berbelanja dengan si kecil, kita pun tak lupa menasehati mereka,

“Nanti tidak boleh macam-macam lho ya...”


Nah, penggunaan istilah “tidak boleh nakal”, “jangan bikin malu” atau “tidak boleh macam-macam” adalah istilah-istilah yang tidak akan dimengerti oleh anak-anak.

Sesampainya di tempat tujuan, anak-anak akan tetap melakukan kebiasaan atau aktifitas yang biasa dilakukannya di rumah. Berlarian kah, naik ke atas meja kah, loncat-loncat di sofa kah, dsb.

Orangtua menganggap si anak telah melanggar peraturan dan tidak menuruti perintahnya.

Padahal yang sedang terjadi adalah anak-anak tidak memahami apa yang tadinya dipesankan kepadanya.

Anda mungkin perlu membaca terlebih dahulu 6 Aturan Penting yang Diabaikan saat Membuat Kesepakatan dengan Anak.

Lalu apa yang seharusnya kita lakukan?

Pakailah bahasa anak-anak.

Gunakan kalimat yang jelas dan spesifik, misalnya,
Nanti kalau sudah di rumahnya Tante, adek tidak boleh loncat-loncat di sofa dan teriak-teriak ya,”

Dengan penggunaan kalimat yang spesifik, anak menjadi paham mana yang dilarang oleh orangtuanya dan mana yang diperbolehkan.


2. Orangtua melanggar nasehatnya sendiri


Sebagai manusia biasa, para orangtua juga tidak luput dari kondisi emosi yang naik-turun.

Dalam kondisi goodmood, kita bisa menerapkan nasehat-nasehat kita sebagai kebiasaan sehari-hari. Namun ada saat dimana kita lepas kontrol yang menyebabkan kita dengan mudah melanggar apa yang sudah kita pesankan kepada anak kita.

Sebagai contoh, kita menasehati anak agar selalu menghormati orang lain. Namun suatu ketika, karena marah, kita membentak atau menghardik anggota keluarga yang lain.

Di sini anak akan belajar bahwa nasehat itu boleh dilanggar.

Jadi jangan buru-buru menyalahkan anak yang tidak mau mendengar nasehat kita. Evalusi ke dalam diri sendiri barangkali kita pernah mencontohkan hal-hal yang sebaliknya.

Apa yang harus kita lakukan ketika hal tersebut terjadi?

Segeralah meminta maaf. Akuilah bahwa kita telah melanggar nasehat kita sendiri dan tunjukkanlah bahwa kita menyesal karena hal tersebut.


3. Tidak konsisten


Salah satu alasan kenapa nasehat kita tidak didengar oleh anak adalah ketidak-konsistenan kita di dalam memberikan teladan.

Kita meminta anak untuk selalu membuang sampah pada tempatnya. Namun saat kita berada di suatu tempat yang tidak menyediakan tempat sampah, kita dengan seenaknya membuang sampah dengan sembarangan,

dengan dalih tidak ada tempat sampah.


Di sini anak akan mengingat bahwa boleh membuang sampah sembarangan ketika kita tidak melihat adanya tempat sampah.

Pada konteks yang lebih umum, artinya boleh-boleh saja melakukan hal yang salah ketika keadaan mengijinkan.

Hal ini tentu saja berbahaya.

Jadi harus bagaimana kita bertindak?

Agar sebuah nasehat tertancap kuat pada benak si anak, konsisten adalah kata kuncinya.

Pada contoh di atas, di saat kita tidak menemukan tempat sampah maka minta anak untuk menyimpannya di saku atau kantong tas mereka.

Nanti ketika sudah menemukan tempat sampah barulah minta mereka untuk membuangnya.


4. Larangan setengah hati


Larangan yang setengah hati biasanya lahir dari orangtua yang masih bimbang

apakah mereka harus melarang atau tidak. Ungkapan yang sering muncul misalnya,

“Adik ndak usah ikut aja ya?”

Pada larangan ini seolah-olah kita membolehkan anak-anak untuk menawar.

Jadi jika harus melarang, laranglah dengan tegas namun dengan bahasa yang lembut. Bila harus, beri penjelasan yang melegakan si anak. Misalnya,

“Adik kali ini tidak boleh ikut karena (bla bla bla). Tapi kalau besok ayah ke sana lagi, kakak boleh ikut.”


5. Ada respon hanya ketika anak melakukan kesalahan


Bagaimanapun seorang anak juga membutuhkan kasih sayang dari orangtuanya.


Melarang mereka ketika akan melakukan kesalahan adalah hal yang harus dilakukan.

Namun mengapresiasi mereka,

ketika mereka melakukan hal yang baik juga harus diterapkan.

Berilah pujian atau pelukan sayang untuk menunjukkan bahwa kita menyukai apa yang telah mereka lakukan.

Dengan begitu mereka akan menerima nasehat ketika berbuat salah, karena mereka merasa dihargai ketika berbuat baik.


6. Sanksi tidak seketika


Sanksi atau hukuman adalah komponen yang harus ada pada setiap peraturan. Tanpa adanya sanksi, sebuah peraturan tidak akan mempunyai kekuatan.

Ketika sebuah larangan tidak mengandung hukuman yang seketika, larangan tersebut juga rawan untuk dilanggar.

Ketika mereka melanggar aturan yang sudah disepakati, lalu tidak ada sanksi yang berlaku (mungkin karena kita merasa kasihan atau hal yang lain),

maka anak akan menganggap bahwa peraturan orangtuanya hanya “omong doang”. Dan ini memicu anak untuk melanggar lagi, dan lagi.

Jadi, jika kita sudah menjanjikan hukuman atas suatu pelanggaran, maka tanpa perlu menunda lagi segeralah laksanakan sanksi atau hukuman tersebut.


7. Menghukum secara fisik


Poin ini jelas memiliki keterkaitan dengan poin sebelumnya.

Menghukum anak dengan hukuman fisik sangat tidak disarankan. Selain karena bisa melukai fisik mereka, juga akan melukai harga diri mereka.

Jika mereka sudah merasa tersakiti secara mental, maka nasehat sebaik apapun akan “masuk dari telinga kanan dan keluar dari telinga kanan juga” (ini istilah yang saya gunakan untuk menunjukkan bahwa pesan kita sama sekali tidak akan mau mereka terima).

Silahkan baca Ternyata Disiplin Juga Bisa Merusak Anak.

Jadi gunakanlah hukuman yang tidak berhubungan dengan fisik mereka. Selalu terapkan hukuman yang bersifat mendidik dan membangun.


8. Salah satu selalu disalahkan


Ini adalah kebiasaan orangtua yang memiliki 2 orang anak atau lebih, dimana ketika terjadi perselisihan di antara mereka,

selalu yang lebih tua yang disalahkan.

“Kamu ini kan kakaknya! Mestinya ngalah dong...”

Akibat selalu menjadi pihak yang disalahkan, benih-benih pemberontakan dari sang kakak mulai tumbuh.

Kebencian terhadap adiknya mulai terpupuk.

Di lain pihak, si adik yang selalu dibela pada akhinya menjadi tokoh yang selalu merasa benar sendiri.

Sehingga semakin keduanya dilarang bertengkar, justru semakin sering pertengkaran terjadi.

Maka ajarilah anak-anak untuk memahami mana perbuatan benar dan mana perilaku salah. Ingat bahwa benar dan salah tidak mengenal usia tua atau muda.

Bagi orangtua berlakulah adil. Pelajari kejadian sebenarnya sebelum kita mengetuk palu keputusan.


9. Terlalu banyak larangan


Faktor yang terakhir ini umumnya lahir dari para orangtua yang mempunyai karakter perfeksionis.

Mereka ingin anak-anak mereka menjadi anak-anak yang sempurna. Padahal tidak ada seorangpun yang sempurna. Bahkan si orangtua sendiri.


Jangan membebankan semua larangan pada anak-anak dalam satu waktu. Akan tetapi lakukanlah secara bertahap.

Anak-anak itu butuh waktu untuk memahami, mencerna dan untuk mengaplikasikannya.

Bukankah Al-Qur’an yang sempurna juga diturunkan secara bertahap?


Karena Anda sudah membaca artikel ini sampai selesai,
apakah Anda juga berminat membaginya dengan teman-teman Anda?

Pri617

Author & Editor

Bukan seorang ayah yang sempurna. Hanya berusaha mewariskan sifat baik dan sikap positif untuk anak-anak kami.

2 komentar:

  1. Thanks infonya menarik banget. Oiya ngomongin nasihat orang tua, ternyata ada juga loh nasihat orang tua tentang keuangan yang ternyata ampuh bikin kita sukses. Nggak percaya? Temen-temen bisa lihat rahasianya di sini: Nasihat keuangan dari ayah

    ReplyDelete