Tuesday, November 7, 2017

Melarang Anak dengan Kata “Jangan”, Benar atau Salah?

melarang anak, kata jangan,


Seorang motivator, pernah mengatakan bahwa melarang anak dengan menggunakan kata “jangan” adalah sebuah kekeliruan.

Karena anak-anak (dan orang dewasa), memiliki kecenderungan untuk penasaran terhadap sebuah larangan.

Dan otak, lebih mudah mengingat bagian terakhir dari sebuah perintah atau sebuah larangan.

Misalnya, kita melarang anak-anak dengan kalimat “jangan lari!”,

maka bagi anak-anak kata “jangan” akan tertutup dengan kata “lari”.

Itulah sebabnya - kata sang motivator ini - kenapa anak-anak yang dilarang lari,

justru semakin menjadi-jadi larinya.

Atau kita melarang seseorang untuk membuka sebuah kotak.

Maka rasa penasarannya, justru akan membuat orang tersebut membuka kotak tersebut.

Sebagai penguat teorinya,

pernah dalam salah satu seminarnya, sang motivator ini meminta semua audiensnya untuk menutup mata.

Setelah itu sang motivator mengatakan begini,

“Jangan membayangkan... sekali lagi, jangan membayangkan... seekor gajah berwarna jingga melintas di depan anda!”

Apa hasilnya?

Ya, semua audiens justru membayangkan apa yang dilarang dibayangkan oleh sang motivator.


Benar atau Salah?


Saya yakin, jika anda mengikuti tulisan saya di atas, anda akan setuju dengan apa yang diteorikan oleh sang motivator.

Saya juga sempat “terpengaruh” oleh teori ini. Bahkan di blog saya yang sebelumnya, saya pernah menulis juga tentang hal ini.

Akan tetapi kesetujuan saya berubah ketika pada suatu saat saya mengikuti sebuah seminar dengan pembicara yang berbeda.

Sebuah seminar tentang parenting, yang memang merupakan agenda tahunan di sekolah tempat putra pertama saya belajar.

Di dalam seminar tersebut, sang pembicara membantah habis-habisan teori sang motivator.

Dari sinilah saya menjadi sadar, bahwa tidak semua yang dikatakan mereka yang berjuluk motivator itu benar.

Dan bahwa kita perlu melihat segalanya dari sisi yang berbeda.


Bantahan Pertama


Di dalam Al-Qur’an yang kebenarannya tidak pernah diragukan,

banyak larangan-larangan yang menggunakan kata “jangan”.

Jangan mempersekutukan tuhanmu dengan yang lain.

Jangan mendurhakai kedua orangtuamu.

Jangan memakan harta anak yatim dengan cara yang batil.

Jangan membunuh tanpa alasan yang dibenarkan.

Jangan mendekati zina, judi, dan sebagainya.

Adalah sebagian contoh larangan yang justru menggunakan kata “jangan”.

Bahkan dikatakan ada sekitar 500-an kalimat larangan di dalam Al-Qur’an yang menggunakan kata “jangan”!

Jika,

apa yang dikatakan sang motivator tadi adalah benar adanya,

maka Al-Qur’an ini tentu saja akan lebih dahulu menunjukkannya.

Karena ia diciptakan lebih dahulu daripada sang motivator. Dan ia diciptakan oleh Dzat yang Maha Benar.


Bantahan Kedua


Jika otak anak-anak dikatakan memiliki kecenderungan untuk mengingat hal yang terakhir,

maka silahkan lakukan eksperimen ini pada anak-anak anda.

Coba katakan kepadanya seperti ini,

“Nak, mulai besok jangan shalat Shubuh!”

Lalu lihat bagaimana hasilnya...

Jika yang diteorikan sang motivator benar,

maka seharusnya anak-anak kita akan menjadi lebih semangat dalam shalat Shubuh!

Tapi hasilnya tidak begitu, bukan?

Karena itu,

yang menjadi pokok persoalan adalah bukan menggunakan kata “jangan” atau tidak.

Yang utama adalah bagaimana anak memahami maksud kita memberikan perintah atau larangan tersebut.

Sehingga ketika kita melarang anak-anak membuka-buka chat WhatsApp kita misalnya,

mereka menuruti kita bukan karena kita melarang, atau karena mereka takut dengan ancaman kemarahan kita,

tetapi karena mereka tahu tujuan pelarangan tersebut.

Bahwa membuka-buka file orang lain adalah termasuk perbuatan yang tidak sopan, dan bisa merusak kepercayaan orangtua kepada mereka, misalnya.

Atau kita bisa memberikan perbandingan kepada mereka bagaimana jika buku-buku  atau tas mereka diobok-obok oleh orang lain.


Gagalnya Komunikasi dengan Anak-anak


Salah satu penyebab kenapa larangan kita malah dianggap oleh anak-anak sebagai “tantangan” untuk dilakukan,

adalah karena gagalnya komunikasi dengan anak-anak.

Komunikasi antara orangtua dan anak semestinya adalah komunikasi antara sahabat atau teman,
bukan antara Bos dan Karyawan.

Mungkin kita pernah mendengar ungkapan seperti ini,

“Dua hal yang dapat merusak persahabatan manapun adalah, harapan yang berlebihan dan kurangnya komunikasi.”

Maka percakapan yang hangat adalah pintu utama kita untuk menjalin kedekatan dengan anak-anak.

Jangan sampai terjadi,karena kurangnya komunikasi kita dengan mereka

sehingga membuat kita mudah marah setiap kali mereka melakukan sesuatu yang tidak kita sukai.

Seringnya anak dimarahi karena ketidak-tahuan mereka sebenarnya justru akan membuat mereka merasa tidak dihargai, takut dan rendah diri.


dituliskan bahwa memberikan penjelasan yang tepat akan membuat anak mengerti mana yang harus dilakukan dan mana yang tidak boleh dilakukan.

Bantu mereka untuk memahami apa yang sedang terjadi.

Pada ujungnya nanti, anak-anak akan tetap mengikuti penjelasan kita tanpa kita melarang atau mengingatkannya kembali.

Inilah tujuan dari pendidikan yang sebenarnya.

Bahwa mereka melakukan sebuah hal baik bukan karena perintah atau dorongan,

melainkan karena kemauan dan kesadaran diri pribadi mereka.


Pri617

Author & Editor

Bukan seorang ayah yang sempurna. Hanya berusaha mewariskan sifat baik dan sikap positif untuk anak-anak kami.

0 komentar:

Post a Comment