Sunday, March 25, 2018

Long Distance Parenting, Mungkinkah Berhasil?

Pendidikan jarak jauh


Pada sebagian orang, menjadi orangtua di masa-masa seperti sekarang ini sungguh merupakan keadaan yang berat.

Harga-harga kebutuhan yang terus meninggi, biaya pendidikan di lembaga-lembaga yang bagus yang hampir-hampir tidak terjangkau,

adalah hal-hal utama yang menjadi permasalahan setiap orangtua yang berada di level ini.

Untuk itulah para orangtua harus rela bekerja “lebih” demi anak-anak mereka. Bekerja lebih lama, lebih berat, atau bahkan lebih jauh untuk mendapatkan penghasilan yang lebih baik.

Pada keadaan inilah anak-anak biasanya merasa jauh dari orangtua,

baik jauh secara fisik maupun jauh secara emosional.

Jika hal ini tidak segera disadari oleh orangtua, maka hasilnya nanti bisa jadi lebih buruk lagi...

Perlu ada cara bagi para orangtua yang terpisah jauh dari anak-anaknya, agar kedekatan secara emosional tetap bisa terjalin dengan baik.

Ada sebuah kisah di dalam Al-Qur’an yang bisa dijadikan contoh bahwa kedekatan secara emosional antara orangtua dan anak bisa dilakukan meski keduanya terpisah jarak yang jauh.

***

Di dalam kisah Nabi Ibrahim ‘alaihissalam diceritakan bahwa ketika Nabi Ibrahim bersama istrinya dan putranya, si bayi Ismail berada di sebuah tempat yang tandus dan gersang,

datanglah perintah Allah kepada beliau untuk meninggalkan istri dan putranya di tempat tersebut.

Meski dengan berat hati, Nabi Ibrahim pun berpisah dengan keluarganya demi ketaatannya kepada Tuhannya.

Singkatnya,

setelah bertahun-tahun kemudian, Nabi Ibrahim kembali untuk bertemu dengan keluarganya. Saat itu Ismail mulai beranjak dewasa.

Akan tetapi belum sempat keduanya membangun hubungan, datanglah ujian ketaatan lagi dari Allah untuk Nabi Ibrahim berupa perintah untuk menyembelih putranya tersebut.

Bimbang dan ragu sempat menyelimuti hati sang ayah...

Kita semua tentu sudah tahu bagaimana kelanjutannya. Namun yang menarik di dalam kisah ini adalah,

sebelum Nabi Ibrahim benar-benar melaksanakan perintah Allah tersebut, terjadilah dialog antara kedua ayah dan anak ini.

Saat itu Nabi Ibrahim bertanya, “Sesungguhnya aku telah mendapatkan perintah untuk menyembelihmu. Maka bagaimana pendapatmu?”

Maka jawab Ismail, “Wahai ayahanda-ku, laksanakanlah apa yang diperintahkan Allah kepadamu. Insyaallah, engkau akan mendapatiku termasuk orang yang sabar.”

***

Sekarang, 

yang menjadi pertanyaan adalah,

bagaimana bisa seorang anak yang telah bertahun-tahun tidak pernah bertemu dengan ayahnya,

bisa menjadi sedemikian patuhnya kepada sosok yang baru kali ini ditemuinya?

Atau jika kasus ini diterapkan di dalam dunia parenting,

bagaimana cara orangtua mendidik anak-anaknya agar mereka menjadi anak-anak yang berbakti kepada orangtuanya...

... meskipun terpisah oleh jarak yang jauh?

Mungkinkah karakter dan mental anak-anak bisa dibangun dari jarak yang jauh?


Long Distance Parenting, Mungkinkah Berhasil?


Long Distance Parenting atau LDP adalah sebuah istilah yang merujuk kepada upaya pembentukan karakter dan mental anak-anak dengan ayah atau ibu yang tidak berada di dekat mereka.

Hal ini bisa terjadi karena ayah atau ibu yang bekerja di tempat yang jauh atau memiliki tugas tertentu sehingga tidak bisa setiap saat bertemu.

Kisah Nabi Ibrahim mengajarkan kepada kita Long Distance Parenting bisa dilakukan dan memiliki tingkat keberhasilan yang sama dengan pendidikan jarak pendek yang umum dilakukan.

Mencontoh pada kisah Nabi Ibrahim,

setidaknya ada dua hal penting yang menjadi faktor utama dari keberhasilan LDP ini.


Pertama, doa sang Ayah


Kita paham bahwa Allah-lah yang maha mengatur. Segala sesuatu terjadi pada kita dan pada keluarga kita adalah atas kehendak-Nya. Termasuk dalam hal ini adalah kondisi yang mengharuskan kita jauh dari keluarga.

Karena itulah kita membutuhkan kemaha-kuasaan Allah untuk membuat segalanya menjadi lebih baik.

Nabi Ibrahim telah mencontohkan bagaimana cara beliau berdoa:

Beliau menitipkan keluarganya hanya kepada Allah yang maha melindungi.

Beliau juga tidak meminta anak yang kaya atau tampan. Yang beliau minta adalah anak-anak yang shalih, yang tetap mengerjakan sholatnya.

Maka sebagai jawaban dari doa-doa tersebut, Allah menjadikan Ismail sebagai anak yang ikhlas dan sabar.


Kedua, figur sang Ibu


Ibu yang menemani Ismail saat ketiadaan sang ayah adalah seorang ibu yang tangguh.

Bukan saja tangguh secara fisik, namun juga secara emosional.

Pada setiap kesempatan sang Ibu senantiasa menceritakan bagaimana sifat-sifat dan kebiasaan sang Ayah dengan baik. Sehingga sang anak merasa tahu lebih banyak tentang ayahnya.

Meski Ibrahim tidak berada di dekat mereka,

namun sang Ibu berhasil membangun profil sang ayah dengan sangat kuat sehingga sang anak merasa begitu mengenal sosok ayahnya,

seolah-olah sang Ayah memang hadir di tengah-tengah mereka.


Ketiga (sebagai tambahan saja), komunikasi yang intens


Di era digital seperti sekarang ini, jarak yang jauh sudah tidak lagi menjadi halangan untuk tetap terhubung. Banyak cara berkomunikasi yang bisa kita lakukan dengan bantuan ponsel.

Komunikasi yang intens bukan berarti komunikasi yang teratur, yang terjadwal dan yang membosankan,

namun sebuah komunikasi yang mampu melibatkan emosi dengan baik.

Komunikasi yang intens menjadikan seolah-olah keduanya hadir, berbicara di dalam satu ruangan yang sama, berhadap-hadapan.

Orangtua tidak harus memilliki hari atau jam tertentu untuk menghubungi anak-anak mereka. Namun sesering mungkin, kita bisa mencoba menelpon pada waktu-waktu yang tidak biasa untuk sekedar memberitahukan bahwa kita sedang ingin tahu keadaan mereka.

Atau, kita juga bisa menanyakan tentang permasalahan yang sedang mereka hadapi untuk didiskusikan bersama.


Pri617

Author & Editor

Bukan seorang ayah yang sempurna. Hanya berusaha mewariskan sifat baik dan sikap positif untuk anak-anak kami.

2 komentar:

  1. secara logika memang peran orang tua tetap tidak bisa lepas dari anak apalagi masa transisi dan masa pembentukan karakter. sangat bermanfaat artikelnya kang Pri Enamsatutujuh

    ReplyDelete